Senin, 29. September 2008 pada 16:23
Kembali
jalan setapak itu kulalui. Harum semerbak bunga melati yang tersentuh
embun pagi menelusuk hidungku. Kapling-kapling kehancuran hati mulai
terpendam dalam keheningan. Semuanya telah terjadi. Aku tak bisa berbuat
apa-apa lagi.
Semua
tak akan mengerti. Semua kebahagianku kini hanya kenangan.
Kerikil-kerikil tajam harus kutempuh untuk mencapai tujuanku. Dalam
perjalanan langkahku terhentak di sebuah pohon beringin yang rindang.
Pohon itu kelihatan tenang menyimpan sejuta kenangan. Ia hanya menjadi
saksi bisu atas pahitnya penderitaanku. Di bawah pohon itu aku duduk dan
mengenang semua kejadian yang menggilas hidupku.
“Jesika…Jesika… tunggu… !” teriakku seakan menyuruhnya berhenti. Ia
berpaling dan bingung sendiri melihat tingkahku yang penuh semangat dan
aneh. Aku berdiri disampingnya dan berjalan menuju pintu gerbang
sekolah.
Waktu itu kira-kira 10 menit lagi pukul tujuh. Kami duduk diserambi kelas tanpa berbicara sedikitpun. Aku
hanya memandang wajahnya yang bersih, cantik, dan bercahaya. Aku begitu
menyayangimu, kataku dalam benakku. Tapi, aku tak punya keberanian
untuk mengungkapkannya.
“Hi… pagi-pagi gini kok dah ngelamun?”
“Nggak…nggak ada apa-apa kok…?
“Jes, nanti siang kita pulang bareng, bolehkan?” kataku dengan penuh keragu-
raguan.
Ia hanya membalas dengan senyuman. Aku tertegun seketika, berarti ia setuju.
Teng…teng…teng…, lonceng sekolah berbunyi. Aku
masuk ke kelas dan duduk di bangku paling depan. Sejak awal aku tahu
mengapa hatiku selalu gelisah. Aku terus membayangkan apa yang akan
terjadi. Mengapa aku tak berani mengungkapkan apa yang sebenarnya
terjadi pada diriku. Sampai kapan aku harus menahan gejolak hati ini.
aku tak bisa begini terus. Aku tahu dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku.